
Pradi Khusufi Syamsu (Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Mengukur baik dan buruknya perilaku manusia tidak lepas dari tiga kata kunci yakni akhlak, moral, dan etika. Ketiga term tersebut memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Jika akhlak tolok ukur perbuatan baik, buruk, benar dan salah dalam tindakan seseorang manusia yang bersumber al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka barometer moral adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung dalam adat istiadat suatu masyarakat. Sementara tolok ukur etika tentang baik dan buruk perbuatan manusia berdasarkan akal pikiran atau rasio.
Kata moral berasal dari bahasa latin mores, kata jamak dari mos yang berarti adat atau kebiasaan. Adapun etika berasal dari bahasa Yunani ethos dalam bentuk tunggal yang berarti perasaan, kebiasaan, adat istiadat, watak, serta cara berpikir untuk melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang baik atau buruk. Meski etika dan moral terkait dengan perbuatan baik-buruk manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Moralitas lebih cenderung pada pengertian nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri, sedangkan etika berarti ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori tentang perbuatan baik dan buruk.
Urgensi Etika
Etika merupakan basis fundamental dalam proses terbentuknya suatu bangsa. Etika juga merupakan fondasi bagi kelangsungan hidup suatu bangsa, sehingga manakala runtuhnya etika berbangsa, maka akan membawa akibat pada runtuhnya bangsa tersebut.
إِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاقُ مَا بَقِيَتْ # فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلاقُهُمْ ذَهَبُوا
Sesungguhnya bertahannya umat selama etika (akhlak) mereka ada, bila etika (akhlak) akhlak mereka hilang, merekapun akan sirna.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنّما بُعِثْتُ لاُتَمِّمَ حُسْنَ الأخْلاقِ
Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia. (HR. Imam Malik)
Dalam sejarah peradaban manusia, etika selalu beriringan dengan jatuh bangun sebuah bangsa. Ambisi pribadi, kemaksiatan, korupsi, dan pengkhianatan adalah bentuk pencemaran etika yang berimplikasi langsung terhadap hancurnya peradaban bangsa. Peradaban Mesir Kuno hancur karena terjadi peperangan perebutan kekuasaan; peradaban Tiongkok kuno runtuh karena mengalami beragam konflik dan intrik, perebutan kekuasaan, pemberontakan kepada kaisar yang lalim, dan perjanjian yang tidak adil; peradaban Yunani Kuno hancur akibat pemerintahan yang tidak jelas kerjanya dan korup; dan Dinasti Abbasiyah hancur karena moralitas elite dan sejumlah khalifah yang terlalu cinta dunia.
Belajar dari sejarah bangsa-bangsa yang hancur peradabannya akibat dari hancur kehancuran etikanya, maka membangun peradaban bangsa Indonesia berarti membangun etika bangsa itu sendiri.Sebab, pendidikan tanpa etika merupakan pendidikan yang buruk dan sesat. Fakta sejarah membuktikan bahwa bahwa bangsa yang beretika mampu memperkuat kualitas dan dibutuhkan bagi keberlangsungan keadilan, persaudaraan, dan kesejahteraan sebuah bangsa. Kesejahteraan suatu tidak mungkin dapat terwujud apabila masing-masing individu hanya mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki niat untuk berkorban bagi kesejahteraan bangsanya.
Kemorosotan Etika
Kemerosotan etika makin terang benderang dalam kehidupan berbangsa di era kontemporer. Bangsa makin tidak peduli dengan kondisi bangsa yang kian carut marut baik ekonomi, sosial, politik, disintegrasi bangsa, maraknya korupsi, dan penyelenggaraan pemerintahan yang masih jauh dari good governance. Masyarakat cenderung apatis sehingga tidak lagi peduli dengan persoalan bangsa yang kian kompleks.
Sikap apatis ini diakibatkan kurangnya dukungannya dan sikap keteladanan para pemimpin bangsa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Belum lagi penegakan hukum yang juga terkesan tidak menyentuh rasa keadilan bagi masyarakat bawah. Penegakan hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas makin merajalela. Justisiabel cenderung hanya dimiliki orang yang mampu secara materiil. Terlebih good governance sejatinya harus mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan dan adil berkemakmuran bagi rakyatnya. Bukan sekedar orientasi internal organisatoris.
Penegasan Kembali Etika Pancasila
Pancasila merupakan sumber etika. Etika Pancasila penjabaran dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya.
Pancasila sebagai sistem etika mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Pancasila sebagai etika adalah Pancasila menyajikan nilai sebagai landasan etika dalam kehidupan.
Sila ketuhanan mengandung dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri manusia kepada Sang Pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan mengandung dimensi humanis, artinya menjadikan manusia lebih manusiawi, yaitu upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antar sesama. Sila persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan, cinta tanah air. Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap menghargai orang lain, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang lain, kesediaan membantu kesulitan orang lain.
Akhir Kalam
Pondasi dasar bagi berdirinya sebuah bangsa yang kokoh adalah etika. Etika akan memalingkan jiwa dari hawa nafsunya dan melembutkan hati atas keinginannya, yakni etika yang didasarkan pada pancaran spiritualitas, humanis, cinta tanah air, musyawarah, dan keadilan. Sehingga dalam kehidupan berbangsa akan mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.