Oleh: Khoirunnisa (Mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa Arab IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Sebuah kenyataan bahwa Islam di Indonesia telah menempatkan diri sebagai entitas dari kolektivitas spiritual dan sosial yang dominan sehingga agama ini menjadi keyakinan mayoritas pada masyarakatnya. Fakta historis dan sosial bahwa Islam masuk ke indonesia lebih dominan dalam mengandalkan jalur kultural daripada dengan aksi kekerasan tidak bisa dipungkiri. Maka dari itu Islam datang dengan menggantikan peran dari peradaban sebelumnya, Islam pun telah tersebar ke berbagai pelosok, melalui kelenturan cara berdakwah dari para dai-dai profesional seperti para Walisongo.
Pun demikian dengan pesantren. Pesantren hidup dan berkembang melalui proses keilmuan dan akulturasi kebudayaan, bukan dengan cara perang atau kekerasan dan pemaksaan. Karena itu sangat wajar dan logis jika antara pesantren dengan masyarakat kemudian tercipta sinergi dan harmoni antara satu dengan yang lain sehingga pesantren menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam struktur sosial masyarakatnya.
Fenomena dekadensi moral pada remaja telah menjadi problem nasional. Beruntungnya Indonesia memiliki pesantren, sebuah warisan sebuah sistem pendidikan yang dapat menjadi alternatif solusi akan hal tersebut. Eksistensi pesantren telah terbukti mampu survival di tengah derasnya arus modernisasi dengan beragam tantangan dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Pesantren telah terbukti mampu berperan sebagai benteng moralitas bangsa.
Pesantren menerapkan beragam strategi dalam membimbing akhlak santri seperti strategi formal, strategi non formal, strategi alami, strategi teladan, strategi nasehat, strategi ceramah, dan strategi kisah-kisah. Beragam metode dalam pendidikan karakter juga diterapkan dengan metode keteladanan, pembiasaan, nasihat, memberikan perhatian, dan hukuman yang mendidik. Alhasil, dari pesantren terlahir orang-orang yang memiliki karakter dan moral yang baik.
Reposisi Pesantren
Sejak masa awal penyebaran Islam Indonesia, pesantren adalah sarana penting bagi kegiatan Islamisasi di Indonesia. Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam Nusantara, khususnya di Jawa yang tidak mungkin terpisahkan dari peranan yang dimainkan pesantren. Berpusat dari pesantren, perputaran roda ekonomi dan kebijakan politik Islam dikendalikan. Di masa Walisongo, tidak sedikit wali-wali di Jawa menguasai jaringan perdagangan antara pulau Jawa dengan pulau di luar Jawa, seperti Sunan Giri yang memiliki jaringan perdagangan antara Jawa dengan Kalimantan, Maluku, Lombok dan sebagainya. Begitu pula dengan perjalanan politik Islam di Jawa, pesantren mempunyai pengaruh yang kuat bagi pembentukan dan pengambilan sebagai kebijakan di keraton-keraton.
Pesantren sejak awal berdirinya hingga sekarang menjadi salah satu pusat studi Islam yang paling mutakhir. Pesantren sudah jauh-jauh hari menerapkan empat pilar pendidikan yang meliputi learning to Know, learning to do , learning to be, dan learning to live together. Keempat pilar pendidikan tersebut diintegrasikan dalam semua kegiatan baik yang bersifat kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Kegiatan pendidikan keislaman di pesantren dinilai komprehensif karena tidak hanya terjadi transfer of knowledge, namun juga transfer of values.
Pesantren tidak hanya mendasarkan pada pemahaman teori, akan tetapi praktik ibadah sekaligus tidak hanya mengandalkan hapalan serangkaian teori keilmuan akan tetapi membiasakan diri dalam tradisi ritual; tidak hanya secara retoris menggalakkan konsep keadilan, tawassuth, dan tawazun, tetapi juga mengimplementasikannya dalam tataran praksis kehidupan pesantren. Bisa dikatakan bahwa pesantren merupakan miniatur masyarakat Islam ideal yang jika pengaruhnya sampai pada spektrum yang lebih luas tentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat sesuai dengan kehidupan pesantren itu sendiri.
Pesantren berkontribusi dalam mencerdaskan masyarakat luas dan mengentaskan buta huruf. Tidak sedikit masyarakat di pedesaan turut ikut menikmati budaya menuntut ilmu dari pesantren. Pesantren adalah model pendidikan yang terjangkau oleh setiap penduduk, termasuk oleh warga negara yang serba berkekurangan sekalipun. Pesantren juga mencetak alumni-alumni yang peduli dan membersamai masyarakat dalam berbangsa dan bertanah air. Di mana alumni pesantren menjadi pemimpin informal dan kharismatik di tengah-tengah masyarakat dalam membimbing intelektualitas dan moralitas mereka.
Karakter Pesantren
Integrasi pesantren dengan masyarakat ini sungguh telah mengakar dan membudidaya dari dulu sampai sekarang. Dari sinilah pesantren menampilkan satu budaya khas yang berkarakter. Tiga karakter dasar pesantren, yakni keilmuan, modeling (uswah khasanah), dan mempertahankan tradisi. Subtansi budaya pesantren yang tampak dalam tiga aspek itu tetap sama, meskipun manifestasinya bervariasi.
Sebagai salah satu kekayaan budaya umat Islam Indonesia yang khas, pesantren telah terbukti menjadi barometer ketahanan moralitas umat sekaligus lembaga sosial yang mampu melakukan transformasi nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan. Pesantren juga lembaga yang memahami betul perubahan dan perkembangan sosial masyarakat.
Selain itu, tradisi kesederhanaan, kemandirian, etos belajar yang tinggi, sikap tasamuh, tawazun, dan tawasuth pesantren menjadikan kehidupan masyarakat muslim nusantara yang damai, toleran, berkeadilan, dan moderat.
Sikap kesederhanaan santri membentuk masyarakat yang tidak serakah dan hanya mau menikmati rizki yang halal dan berkah. Sikap dan keyakinan ini melahirkan budaya kerja yang positif karena kehalalan dan keberkahan menjadi acuan utama. Dengan sikap ini, budaya korupsi sejatinya bisa diminimalisir, bahkan dihilangkan.Adapun budaya toleransi dan menghargai perbedaan yang tinggi merupakan manifestasi dari ajaran ahlussunnah wal jama’ah tidak lepas dari pendidikan pesantren. Santri sejak awal dibekali dengan keberagamaan yang toleran sehingga di tengah masyarakatnya mampu menyebarkan budaya damai. Karakter dan budaya tersebut terus ditumbuhkembangkan pesantren untuk meneguhkan baldatun thayyibatun warabbun ghafur di bumi nusantara.