![santriwati-putri](https://academicus.id/wp-content/uploads/2024/12/santriwati-putri.webp)
Oleh: Pradi Khusufi Syamsu (Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon)
Diskursus tentang kepemimpinan pun tidak pernah sepi dari perbincangan dari waktu ke waktu. Terutama kepemimpinan wanita di tengah keberadaan kaum Adam. Arus perkembangan zaman tidak dapat dibendung. Keterlibatan wanita dari tahun ketahun dalam berbagai segi kehidupan makin signifikan. Hal ini terlihat dari maraknya kaum hawa yang ikut dalam kancah politik, pemerintahan maupun organisasi kemasyarakatan. Tidak sedikit dari mereka menjadi pemimpin politik, menteri, wakil presiden hingga presiden atau perdana menteri. Kenyataan ini pun memunculkan perdebatan di tengah umat Islam.
Perdebatan kepemimpinan perempuan ini tidak pernah berakhir didiskusikan dan menarik banyak perhatian serta sangat menyedot energi berbagai pihak. Perdebatan berawal dari pandangan tentang perbedaan struktur biologis antara laki-laki dan wanita yang berimplikasi pada peran yang diembannya dalam masyarakat. Sehingga, wanita dianggap memiliki beberapa kelemahan yang lebih banyak dibandingkan dengan kaum laki-laki normal.
Pemanfaatan hadis sebagai sumber hukum Islam kedua pun turut serta meramaikan diskusi kepemimpinan perempuan. Hadis riwayat Bukhari nomor 4425, misalnya, sering dijadikan dalil akan larangan perempuan menjadi pemimpin oleh mereka yang menghukumi bahwa perempuan bukan ditakdirkan untuk jadi pemimpin. Tidak berhenti pada hadis di atas, stigma buruk dialamatkan kepada kaum hawa yang berhasrat untuk menjadi pemimpin pun mengalir dengan menyertakan hadis-hadis Nabi SAW. Mulai dari a manusia berakal setengah, tidak sempurnan agamanya, emosional, hingga rumahan.
Lalu bagaimana memahami hadis-hadis Nabi SAW berkaitan dengan wanita dan kepemimpinannya?
Beberapa Hadis Kepemimpinan Wanita
Sedikitnya ada empat hadis yang sering mewarnai perdebatan kepemimpinan wanita. Biasanya keempat hadis tersebut dimuat dengan bentuk simplikasi atau penyederhanaan dari segi sanad maupun matan. Pertama, ”Tidak akan bahagia suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita” (HR. Bukhari no. 4425); kedua, “Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita” (HR. Bukhari no. 304); ketiga, “Sebaik-baik shof untuk laki-laki adalah paling depan sedangkan paling jeleknya adalah paling belakang, dan sebaik-baik shof untuk wanita adalah paling belakang sedangkan paling jeleknya adalah paling depan” (HR. Muslim no. 440), dan keempat, “Nasehatilah wanita untuk berbuat baik karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun, jika kamu membiarkan wanita, ia akan selalu bengkok, maka nasihatilah dia. (HR. Bukhari no. 5185 dan 5186).
Memahami hadis kedua menurut pakar fiqh mazhab Syafi’i kontemporer dari Syria Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, ada keterkaitan antara pernyataan awal dan penjelasan berikutnya dalam hadis tersebut. Maksud kesempitan akal hanyalah ‘setengah kesaksian’ perempuan, seperti diungkapkan oleh Nabi SAW. Artinya ia hanya merupakan label untuk suatu kasus, bukan label untuk generalisasi realitas ciptaan secara menyeluruh. ‘Kurang agama’ yang dimaksud dalam hadis hanya untuk tidak shalat dan tidak puasa karena haid. Thus, ungkapan itu hanya menerangkan suatu kondisi, bukan pernyataan untuk semua kondisi.
Hadis pertama di atas tidak bisa digeneralisasi untuk melarang kepemimpinan perempuan. Hadis ini khusus mengenai bangsa Persia dan pemimpin perempuan saat itu. Dalam bahasa Hibah, hadis ini termasuk dalam katagori teks informatif (al-akhbar) dan pengabaran kemenangan (al-bisyarah), bukan termasuk dalam katagori teks normatif yang memiliki konsekuensi hukum syari’at (al-hukm al-syar’i).
Pernyataan Syekh Ibn Hajar al-‘Asqalani juga memperkuat pandangan terakhir. Menurut Ibn Hajar hadis ini merupakan salah satu hadis yang berkaitan dengan kisah kerajaan Persia. Raja Persia pernah menyobek surat Nabi, kemudian dibunuh oleh anaknya sendiri. Sang anak kemudian menjadi raja, tetapi kemudian meninggal karena diracun. Kerajaan kemudian diserahkan kepada anak perempuannya, yang kemudian membawa kehancuran kerajaan Persia.
Hadis ketiga ini juga sering dipahami sebagai dalil tambahan larangan wanita menjadi pemimpin. Imam Nawawi menjelaskan, bahwa maksud dari hadis ini adalah barisan utama dan terbaik para perempuan jika mereka shalat bersama para laki-laki adalah di belakang, bukan di depan. Adapun jika para perempuan shalat berjamaah sesama mereka dan tidak dengan laki-laki maka barisan yang terbaik adalah yang paling depan dan yang terburuk adalah yang paling belakang.
Hadis keempat terdapat di bab nasihat kepada perempuan atau wanita. Istilah bengkok dalam hadis ini hanya sebagai permisalan untuk mudah dipahami, bukan menilai perempuan itu bengkok. Dan, stressing atau penekanan dalam hadis ini adalah untuk selalu menasihati kaum wanita. Pandangan yang terfokus pada kata bengkok tidak akan memberikan faidah melainkan hanya dosa karena bisa berujung pada saling mengejek antara laki-laki dan perempuan atau sesama wanita sendiri.
Pandangan Ulama tentang Kepemimpinan Wanita
Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa perempuan berhak menduduki jabatan kepala negara (riasah daulah), mufti, anggota parlemen, hak memilih dan dipilih atau posisi apapun dalam pemerintahan ataupun bekerja di sektor swasta karena sikap Islam dalam soal ini jelas bahwa wanita itu memiliki kemampuan sempurna (tamam al ahliyah). Menurut Qaradawi Quran dan hadis tidak melarang wanita untuk menduduki jabatan apapun dalam pemerintahan karena tidak ada satu pun nash yagn menyatakan demikian. Namun, ia mengingatkan bahwa wanita yang bekerja di luar rumah harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariah antara lain: tidak boleh ada khalwat (berduaan dalam ruangan tertutup) dengan lawan jenis bukan mahram, tidak boleh melalaikan tugas utamanya sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya, dan harus tetap menjaga akhlak islami dalam berpakaian, berkata, berperilaku, dan lain-lain.
Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, mufti Mesir saat ini, termasuk di antara ulama berpengaruh yang membolehkan wanita menjadi kepala negara dan jabatan tinggi apapun seperti hakim, menteri, anggota DPR, dan lain-lain. Namun, ia sepakat dengan Yusuf Qardhawi bahwa kedudukan Al-Imamah Al-‘Udzma yang membawahi seluruh umat Islam dunia harus dipegang oleh laki-laki karena salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat.
Ali Jum’ah menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam berbagai posisi sudah sering terjadi dalam sejarah Islam. Tak kurang dari 90 perempuan yang pernah menjabat sebagai hakim dan kepala daerah terutama di era Khilafah Utsmaniyah. Bagi Jum’ah, keputusan wanita untuk menempati jabatan publik adalah keputusan pribadi antara dirinya dan suaminya.
Pandangan lalarang pemimpin wanita datang dari Ibnu Katsirdalam menafsirkan QS An-Nisa: 34 menyimpulkan, laki-laki adalah pemimpin wanita. Sebab, laki-laki memiliki keutamaan lebih ketimbang perempuan. Sebagaimana kenabian dikhususkan untuk kalangan laki-laki dan juga raja yang agung serta jabatan hakim. Ar-Razi dalam tafsirnya juga bependapat demikian, karena dalam banyak hal laki-laki memilik keutamaan di atas wanita. Sebagian berupa sifat-sifat faktual sedang sebagian yang lain berupa hukum syariah seperti al-imamah as-kubro dan al-imamah as-sughro, jihad, dan adzan.
Wahbah Zuhaili mensyaratkan laki-laki sebagai syarat jabatan pemimpin. Hal ini diperkuat bukti bahwa beban dan risiko pekerjaan menuntut kemampuan besar yang umumnya tidak dapat ditanggung wanita. Wanita tidak mampu mengemban tanggung jawab yang timbul atas jabatan kepemimpinan baik di saat damai, perang ataupun situasi berbahaya. Namun, menurut Wahbah Zuhaili, terkait jabatan hakim, terdapat perbedaan pendapat antara ulama fiqih apakah harus laki-laki atau boleh wanita. Mereka hanya bersepakat bahwa syarat bagi hakim adalah berakal sehat, baligh, merdeka, muslim, tidak tuli, tidak buta, tidak bisu.
Sementara itu mereka yang membolehkan perempuan memegang jabatan publik apapun secara mutlak asalkan memenuhi kualifikasi dan mampu menjaga kehormatan. Muhammad Sayid Thanthawi, Syaikh Al-Azhar dan Mufti Besar Mesir, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam posisi jabatan apapun tidak bertentangan dengan syariah. Baik sebagai kepala negara (al-wilayah al-udzma) maupun posisi jabatan di bawahnya. Dalam fatwanya yang dikutip majalah Ad-Din wal Hayat, Tantawi menegaskan:
Wanita yang menduduki posisi jabatan kepala negara tidaklah bertentangan dengan syariah karena Al-Quran memuji wanita yang menempati posisi ini dalam sejumlah ayat tentang Ratu Balqis dari Saba. Jika memang kepemimpinan perempuan bertentangan dengan syariah, maka niscaya Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini. Thanthawi menjelaskan bahwa hadis suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh wanita khusus untuk peristiwa tertentu yakni kerajaan Farsi dan Nabi tidak menyebutnya secara umum. Jadi, wanita boleh menduduki jabatan sebagai kepala negara, hakim, menteri, duta besar, dan menjadi anggota lembaga legislatif. Namun wanita tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-Azhar karena jabatan ini berkewajiban menjadi imam shalat yang secara syariah tidak boleh bagi wanita khusus.
Penutup
Mayoritas ulama secara tegas menyatakan kepemimpinan perempuan dalam urusan umum dilarang berdasarkan hadis secara tekstual. Namun, secara kontekstual hadis tersebut dapat dipahami bahwa Islam tidak melarang perempuan menduduki suatu jabatan atau menjadi pemimpin dalam urusan umum. Bahkan, menjadi kepala negara, dengan syarat sanggup melaksanakan tugas tersebut dan tidak menyalahi aturan syariah. Oleh karena itu, hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual, karena kandungan petunjuknya bersifat temporer.
Sejatinya perbedaan karakter fisik dan psikis laki-laki dan wanita serta perbedaan fungsi, peran dan tugas masing-masing baik dalam wilayah domestik maupun publik ditujukan agar keduanya dapat bekerja sama, saling melengkapi satusama lain dan tolong menolong demi terciptanya keharmonisan hidup. Berbedanya tugas, fungsi dan peran masing-masing sebagaimana telah ditentukan oleh syara’ sama sekali tidak bisa dianggap sebagai diskriminasi dan dan kemudian diartikan lebih mulianya laki-laki disbanding wanita atau sebaliknya.