December 13, 2024
Jalan-Panjang-Gontor-Dibesarkan-Melalui-Wakaf-1

Oleh: Pradi Khusufi Syamsu (Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

Sedikitnya ada dua sistem pendidikan yang berkembang dan populer hingga saat ini di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Bumiputera dan sistem pendidikan ala Belanda. Sistem pendidikan Bumiputera dikenal dengan pesantren dan madrasah sedang sistem pendidikan ala Belanda disebut dengan sekolah. Kontak Islam dengan penduduk Nusantara sejak awal abad pertama hijriyah dan keberhasilannya melakukan Islamisasi hampir di seluruh kepulauan Nusantara menjadikan pesantren sebagai sistem pendidikan asli penduduk negeri ini.

Sedikitnya ada dua pendapat tentang sejarah lahirnya pesantren di Indonesia. Pertama, pesantren merupakan hasil kreasi anak bangsa setelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra-Islam. Pendapat ini mensinyalir pesantren mempunyai hubungan historis dengan lembaga pra-Islam yang sudah ada semenjak kekuasaan Hindu-Budha, sehingga tinggal meneruskannya melalui proses Islamisasi dengan segala bentuk penyesuaian dan perubahannya. Kedua, pesantren diadopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur-Tengah. Pendapat kedua ini meragukan pendapat yang pertama bahwa pesantren yang sudah ada semenjak zaman Hindu-Budha.

Stagnasi Pesantren

Seandainya Indonesia tidak dijajah oleh bangsa Barat, maka dapat dipastikan pesantren-pesantren sudah menjadi universitas berkelas dunia sebagaimana Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko yang berawal dari masjid serta universitas-universitas ternama di Eropa yang awalnya berasal dari gereja seperti University of Bologna, University of Paris, Oxford University, dan Cambridge University. Perkembangan pesantren menjadi stagnan ketika Belanda datang ke Indonesia untuk menjajah. Sikap non-kooperatif  pesantren dan wataknya untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah, membuat pemerintah kolonial mengadakan kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap pesantren. Propaganda stigma buruk terhadap pesantren pun gencar dilakukan pihak penjajah untuk membusukkan pesantren di tengah-tengah masyarakat pribumi. Namun pesantren sudah kadung amat menyatu dengan kehidupan rakyat, sehingga upaya kaum penjajah jadi sia-sia.

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 22 Desember 1945, pemerintah Indonesia lewat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) menganjurkan dalam maklumatnya untuk  memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang-kurangya diusahakan agar pengajaran di langgar, surau, masjid dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan. Beberapa hari kemudian, 27 Desember 1945, BPKNIP menyarankan agar pesantren mendapatkan perhatian dan bantuan materil dari pemerintah, karena pesantren merupakan sistem pendidikan bumiputera yang pro tehadap pencerdasan rakyat jelata. Perhatian itu kemudian bertambah ketika kementerian agama berdiri pada tanggal 3 Januari 1946.

Namun rencana-rencana yang indah yang telah dipersiapkan untuk pesantren tidak pernah terlaksana. Undang-undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional tahun 1950 tidak menyebut pesantren dalam pasal-pasalnya. Pesantren kembali terdiskrimimasi. Pesantren dianggap tidak kompatibel sebagai sistem pendidikan Nasional. Pasalnya, metode pembelajaran, kurikulum, buku rujukan, sarana belajar, dan sistem manajemen pesantren masih disangsikan dan dianggap jauh dari kata modern.

Padahal, pola pembelajaran dan sistem pesantren sudah menggunakan sistem modern baik pesantren modern maupun pesantren penyandang identitas tradisional sekalipun. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa nilai fundamental yang dimiliki pesantren seperti, komitmen untuk tafaqquh fiddin pendidikan sepanjang waktu (full day school), pendidikan terpadu (integrative), pendidikan seutuhnya yang meliputi aspek afektif, kognitif dan psikomotorik, dan  keragaman yang bebas mandiri serta bertanggungjawab.

Kebangkitan Pesantren

Pertumbuhan pesantren di Indonesia terus bertambah. Pesantren makin banyak diminati berbagai kalangan. Pesantren tidak hanya diminati oleh sekelompok masyarakat tradisional, melainkan juga merambah ke masyarakat-masyarakat modern. Terlebih, setelah lahirnya Undang-undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, keberadaan pesantren memiliki payung hukum kuat sehingga tidak lagi dicap sebagai lembaga pendidikan kelas tiga. Pesantren tidak hanya diakui secara de facto namun juga secara de jure. Pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai kesetaraan dalam hak dan kewajiban yang sama dengan lembaga pendidikan formal lainnya.

Kini para orang tua mulai berlomba-lomba mendidik anaknya di pesantren. Pesantren tidak lagi diposisikan sebagai tempat buangan. Sebab, pesantren bukanlah tempat rehabilitasi dan bukan bengkel atau tempat perbaikan akhlak. Anak-anak yang datang ke pesantren adalah para pencari ilmu, bukan bekas kriminal atau sampah masyarakat. Pendidikan pesantren yang mendidik para santrinya dengan penekanan orientasi keilmuan, kemasyarakatan, dan kepemimpinan. Wajar jika pesanten telah berhasil mencetak para alumni yang berkapasitas pemimpin dalam berbagai organisasi di semua segmentasi masyarakat dan dalam skala kepemimpinan yang beragam, mulai dari lingkup lokal, nasional, bahkan internasional.

Hal ini membuktikan bahwa salah satu misi pesantren adalah mencetak kader-kader pemimpin umat yang berjiwa tangguh, militan, bermoral islami, dan bepengetahuan luas untuk menegakkan kalimat Allah (li i’la kalimatillah) di muka bumi. Sehingga, proses pendidikan di pesantren tidaklah instan, melainkan membutuhkan waktu yang panjang lagi konsisten dengan penerapan multi strategi. Santri dididik secara totalitas dalam kehidupan di pesantren selama 24 jam dengan berbagai kegiatan dan aktifitas baik kurikuler maupun ekstrakurikuler. Pendidikan seperti ini tidak lain untuk meningkatkan seluruh aspek yang dimiliki para santri dan meningkatkan kaliber mereka, karena yang akan meningkatkan kaliber para santri adalah disiplin, pengalaman, kemauan, dan keterpanggilan.

Jangan Terkecoh

Pengakuan pemerintah Indonesia akan keberadaan pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan nasional sudah tepat meski terbilang terlambat. Hal ini membuktikan bahwa pesantren eksis dan maju bukan karena dibantu, melainkan dibantu karena eksis dan maju. Apalagi pesantren merupakan sistem pendidikan bumiputera atau sistem pendidikan asli nusantara. Eksistensi pesantren yang melintasi lintas zaman dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah sistem pembelajaran pesantren yang khas dan terus melakukan adaptasi serta pemutakhiran. Sesuai kaidah pesantren al-muhafadzah ‘ala al-qadim as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yakni menjaga tradisi lampau yang baik sekaligus menerima tradisi baru yang lebih baik.

Pencapaian pesantren saat ini patut disyukuri dengan terus meningkatkan kapasitas dan kualitas pesantren dari berbagai aspek baik guru, santri, pendidikan, keilmuan, kurikulum, manajemen, jejaring, ekonomi, kesejahteraan, teknologi maupun pergedungan. Karenanya, sebuah sikap terlalu dini lagi tergesa-gesa jika ada anggapan memperjuangkan pesantren sudah selesai dan usang. Terlebih pesantren sebagai lembaga pendidikan terus bersinggungan dengan budaya dan politik, di mana politik tidak melulu dipahami sebagai regimentasi, melainkan ia juga dapat dilakukan secara gradual. Jangan sampai pesantren masuk dalam kategori hadis yang disinyalir oleh Nabi Muhammad SAW, Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka? (HR. Musim)

About The Author