
Oleh: Pradi Khusufi Syamsu (Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Kiai merupakan sebuah istilah khas budaya Jawa yang mempunyai makna orang terhormat di tengah masyarakat yang selalu melihat umat dengan pandangan kasih sayang. Wajar jika kemudian kiai memiliki jama’ah, pengikut, dan massa yang petuah-petuahnya senantiasa didengar, diikuti, dan dilaksanakan. Gelar kiai juga diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang memiliki pemahaman ilmu keislaman yang mendalam dan memimpin pesantren tanpa menghilangkan kebermanfaatannya bagi masyarakat banyak atau sekitar.
Kiai pesantren memiliki multi peran. Kiai selain ulama, pendidik, pemimpin, pengasuh, dan pengelola pesantren, ia menjadi penghubung masyarakat. Bahkan, menurut Clifford Geertz, kiai sebagai cultural broker, yakni penghubung antara pesantren dan kekuasaan. Namun kiai saat ini tidak lagi berperan sebagai cultural broker, melainkan kini telah menjadi political broker bahkan bergeser jauh sudah menjadi political actor. Kiai bukan lagi hanya pendulang suara, melainkan juga ikut terlibat menjadi anggota dewan hingga menjadi kepala daerah, presiden, dan wakil presiden.
Fungsi pesantren yang tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, melainkan juga lembaga dakwah dan pengembangan masyarakat meniscayakan kiai untuk dapat memimpin parlemen dan pemerintahan. Sebab, jiwa kepemimpinan kiai sudah ditempa saat memimpin pesantren dan masyarakat, sehingga ia sudah memiliki rekam jejak kemampuan, dedikasi, dan komitmen. Meski demikian, tidak semua kiai mau dan mampu untuk mencapai tampuk kepemimpinan nasional. Setiap kiai punya passion, corak, dan pola tersendiri dalam memimpin.
Corak Kepemimpinan Kiai
Setidaknya ada dua corak kepemimpinan kiai di pesantren, yakni kepemimpinan individual dan kepemimpinan kolektif. Posisi kiai dalam kepemimpinan individual sangat menentukan kebijaksanaan di semua segi kehidupan pesantren, sehingga cenderung menumbuhkan otoritas mutlak. Kepemimpinan kiai yang kharismatik cenderung individual dan otoritas mutlak pada kiai. Gaya kepemimpinan individual tentu memiliki kelebihan. Semakin kharismatik kiai, maka pesantren menjadi semakin besar dan berkembang pesat. Masyarakat semakin banyak masyarakat yang akan belajar bahkan hanya untuk mencari keberkahan dari kiai.
Namun, corak kepemimpinan individual bukan tanpa cela. Otoritas mutlak kiai dalam corak kepemimpinan ini kurang baik bagi kelangsungan hidup pesantren, Perkembangan pesantren semacam ini sangat ditentukan oleh kekharismaan kiai. Karena begitu urgen dan esensialnya kedudukan kiai dalam corak kepemimpinan ini, di mana ia adalah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan sekaligus pemilik tunggal pesantren. Tidak jarang pesantren akhirnya gulugn tikar lantaran ditinggal wafat sang kiai, sementara dia tidak memiliki keturunan yang dapat meneruskan tampuk kepemimpinan pesantren. Atau, kaderisasi yang hanya terbatas keturunan atau saudara tidak menghasilkan kualitas kepemimpinan yang sama dengan kiai sebelumnya.
Sementara kepemimpinan kolektif adalah proses kepemimpinan kolaborasi yang saling menguntungkan, yang memungkinkan seluruh elemen sebuah institusi pesantren turut ambil bagian dalam membangun sebuah kesepakatan yang mengakomodasi tujuan semua. Kepemimpinan kolektif akan sangat berpengaruh terhadap hubungan pesantren dan masyarakat. Semula hubungan semula bersifat patronklien menjadi hubungan kelembagaan antara pesantren dengan masyarakat. Namun demikian, tidak semua kiai pesantren merespons positif kepemimpinan kolektif. Sebab, pesantren berdiri dari hasil ijtihad masing-masing kiai di mana satu kiai dengan kiai lainnya tidak perlu untuk diperbandingkan.
Singkatan Kiai
Sudah disebut di awal bahwa istilah kiai merupakan produk budaya Jawa untuk merepresentasikan seseorang yang betul-betul memanfaatkan dirinya untuk masyarakat seperti memberikan tempat tinggal gratis bagi para santri, memberi modal bagi masyarakat miskin, dan mengobati orang sakit. Namun, dalam tulisan sederhana ini perkenankan penulis untuk menjelaskan kepanjangan dari kata kiai dengan mengkonversikannya ke dalam bahasa Arab. Kiai adalah kamilul ‘ilmu wal adabi wal imamati. Artinya, kiai itu sempurna baik dari segi keilmuan, adab atau akhlak, dan kepemimpinan.
Pemaknaan istilah kiai tersebut nampaknya secara de facto tidak bertolak belakang dengan keseharian kiai. Kiai senantiasa mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada para santri dan masyarakat. Tidak ada kiai yang tidak mengajar, tidak ada kiai yang tidak berilmu, dan tidak ada kiai yang tidak mengamalkan ilmunya dengan memberikan manfaat kepada santri dan masyarakat. Sebab, ilmu dipelajari untuk diamalkan, bukan ilmu untuk ilmu, akan tetapi al-‘ilm li al-‘amal.
Kiai memiliki adab dan akhlak yang mulia. Sebab, kiai adalah uswah hasanah. Kiai merupakan ahli waris para nabi. Sebagaimana nabi adalah panutan bagi umatnya, maka kiai adalah suri tauladan bagi pada santri dan masyarakat di sekitarnya. Kedisiplinan santri dan kedamaian masyarakat bergantung pada uswah hasanah panutannya.
Selain itu, kiai harus memiliki jiwa, mental, dan kemampuan untuk memimpin. Keberadaan pesantren yang didirikan atau dipimpin kiai, keharmonisan masyarakat sekitar dengan pesantren, dan kebermanfaatan pesantren bagi santri dan masyarakat merupakan bukti bahwa kiai terbukti cakap dalam hal kepemimpinan. Akhir kata, jika ada kiai yang bertolak belakang dengan tiga kriteria di atas maka dapat dipastikan itu pseudo kiai, kiai palsu.