January 25, 2025
3D Indonesia flag (with clipping path)

3D Indonesia flag (with clipping path)

Oleh: Dr Pradi Khusufi Syamsu MA

Kajian dan diskusi tentang pesantren tidak pernah sepi. Penelitian terkait pesantren tidak hanya dilakukan para peneliti insider, yakni peneliti muslim, namun juga dilakukan oleh para peneliti non-muslim atau outsider. Suara-suara terhadap pesantren pun beragam. Ada yang bernada lembut dan tidak sedikit juga yang bernada sumbang. Cliffordz Geertz misalnya, menilai kehidupan pesantren hanya berkisar kepada kuburan dan ganjaran. Deliar Noer, seorang penulis Indonesia, mengungkapkan identifikasinya tentang pesantren sebagai Islam kolot yang dalam banyak hal telah menyeleweng dari ajaran-ajaran para pendiri madzhab yang empat.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren yang memiliki akar kuat (indigenous) pada masyarakat muslim Indonesia mengajarkan berbagai macam ilmu-ilmu keislaman dan berperan dalam pendidikan akhlak serta menderdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan informal, non-formal dan formal. Sistem pendidikan pesantren khas dan unik, karena pesantren lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama, di mana kiai sebagai figur utama, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kiai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.

Sejatinya, cikal bakal pesantren sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Sebab, nabi tidak hanya diutus sebagai rasul namun juga menjadi muallim atau guru dan santrinya disebut sahabat. Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, beberapa orang Arab dari luar daerah sengaja mendatangi Madinah untuk menimba ilmu dan pendidikan dari nabi. Mereka meminta kepada nabi supaya diizinkan tidur pada suatu bagian beratap dari masjid nabi. Kemudian hari, tempat tersebut dinamakan shuffah dan orang yang tinggal di sana terkenal dengan nama ashhab as-shufah atau santri-santri yang tinggal di serambi masjid Nabi.

Efek Penjajahan

Stigma negatif terhadap pesantren merupakan perbuatan kaum penjajah. Tuduhan negatif terhadap pesantren seperti kolot, berpikiran sempit, hidup dalam kondisi lingkungan yang kotor hingga kesan kumuh merupakan suara dari kaum penjajah di masa lalu. Kaum penjajah sebenarnya paham tentang bahaya pesantren. Mereka menyadari bahwa pesantren adalah benteng pertahanan moral dan pertahanan akidab bangsa Indonesia sehingga meskipun Belanda menjajah cukup lama, tapi faktanya, mereka tidak berhasil memurtadkan bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim. Sebaliknya, perang melawan penjajah yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro justru menunjukkan sisi patriotisme dan perjuangan para kiai dan santri dalam melawan penjajah.

Apalagi pesantren berangkat dari masyarakat akar rumput mampu bersifat fleksibel, sehingga para penjajah selalu kesulitan untuk mengintervensi karena pesantren tumbuh tanpa memerlukan izin dari otoritas tertentu pada saat itu. Akhirnya, mereka mendiskreditkan pesantren dan tidak mengakui pendidikan pesantren. Mereka membangun citra jelek pesantren seperti, santri itu kudisan, tidak higienis, makanannya tidak sehat, kolot, kumuh, tidak mengerti pengetahuan umum, dan pembawa kemunduran.

Nurcholish Madjid menyatakan bahwa seandainya Indonesia tidak mengalami penjajahan, tidak mustahil pertumbuhan sistem pendidikan akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren. Sebagaimana pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri Barat, di mana hampir semua universitas terkenal berasal dari tradisi Kristen Abad Pertengahan. Selama berabad-abad, pendidikan tinggi di Eropa berasal dari sekolah katedral atau sekolah pastor yang diajarkan oleh para pastor dan suster.

Bahkan jauh sebelum berdirinya universitas-universitas di Barat, nenek moyang universitas dunia berada di Asia dan Afrika.  Universitas al-Qarawiyyin merupakan adalah universitas pemberi gelar paling tua di dunia. Universitas ini didirikan oleh Fatima al-Fihri di Maroko pada tahun 859. Pengajaran di Universitas al-Qarawiyyin bermula di Masjid al-Qarawiyyin. Sebab, masjid-masjid besar pada periode awal Islam biasanya merupakan bangunan multifungsi tempat pengajaran dan pendidikan berlangsung bersamaan dengan kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan lainnya. 

Jalan Berliku Legalitas Pesantren

Pesoalan pendidikan yang muncul dalam suatu masyarakat tidak hanya terdapat dalam ruang kelas dan lingkungan lembaga pendidikan, melainkan juga di pusat-pusat kekuasaan, seperti gedung palemen dan birokrasi. Politik berpengaruh dalam pembentukkan kurikulum sebagai justifikasi ilmiah guna melanggengkan setiap kekuasaan. Bahkan, kekuasaan politik selalu terakumulasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Artinya,  politik dan pendidikan selalu berkelindan.

Ketika Indonesia baru merdeka terjadi keterkejutan dalam segala dimensi kehidupan rakyat dan pemerintahan Indonesia, termasuk pendidikan di Indonesia. Pendidikan Indonesia mengalami masa transisi di tahun 1945- 1950, sebelum diterbitkannya Undang-undang tentang Pendidikan Nasional. Belum dapat dipastikan sistem pendidikan mana yang akan menjadi sistem pendidikan Nasional kala itu. Bahkan UUD 45 dibuat dalam keadaan serba terjepit sehingga menyisakan kontroversi dan penyimpangan pada masa Orde Baru.

Pengesahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 1950 merupakan kekalahan telak dan terlembaga para nasionalis Muslim dalam memperjuangkan sistem pendidikan pesantren. Alasan klasik selalu dijadikan alasan untuk tidak menerima pesantren sebagai sistem pendidikan Nasional, seperti metode pembelajaran, kurikulum, buku rujukan, sarana belajar, manajemen yang amburadul sampai dengan huruf yang digunakannya.

Implikasi dari UU pendidikan tersebut menjadikan madrasah bukan sebagai sistem pendidikan nasional melainkan lembaga pendidikan di bawah Menteri Agama. Menteri Agama kemudian membuat Peraturan tahun 1960 tentang bantuan kepada perguruan agama Islam. Meski bantuan yang diberikan tidak sebanding dengan bantuan yang diberikan pemerintah untuk sekolah, oleh sebab bantuan untuk madrasah sekedar hadiah, sokongan, atau tunjangan. Meski demikian, setidaknya peraturan tersebut merupakan bagian dari perjuangan umat muslim muslim untuk mengembalikan cita-cita sistem pendidikan Islam yang sempat menggema di awal kemerdekaan Republik Indonesia, yakni madrasah dan pesantren sebagai cikal bakal sistem pendidikan Nasional.

Undang-undang sistem pendidikan no. 20 tahun 2003 menjawab harapan umat Islam yang sudah lama didambakan. UU yang disahkan pada tanggal 8 Juli 2003 oleh Presiden RI disertai perdebatan panjang dan alot. Pendidikan keagamaan dahulu dicemohkan dan dipinggirkan kini mendapatkan tempat yang layak dalam pasal 30 Undang-undang no. 20 tahun 2003, yaitu pendidikan keagamaan menjadi bagian dari sistem pendidikan Indonesia.

Pesantren Perlu Dibela

Pengesahan Undang-undang (UU) nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren diyakini dapat memperkokoh landasan hukum untuk memberikan afirmasi atas jaminan kesetingkatan mutu lulusan, kesetaraan akses pendidikan bagi lulusan, dan kesetaraan dalam kesempatan kerja. Kehadiran UU Pesantren diharapkan bisa membantu pembangunan-pembangunan pesantren, dan membantu meningkatkan sarana serta prasarana pesantren, sehingga tidak ada lagi stigma buruk yang disematkan pada pesantren. Terlebih stigma buruk pesantren lebih pada saran dan prasarana yang tidak lebih baik dari lembaga pendidikan seperti sekolah dan madrasah.

Meski demikian, UU Pesantren tidak bebas kritik. Ada kekhawatiran dari sejumlah pesantren dan organisasi kemasyarakatan UU Pesantren menghilangkan independensi pesantren, mengganggu urusan pengelolaan pesantren, dan menjadi alat intervensi pemerintah terhadap pesantren, yang nantinya akan membuat pesantren kehilangan ciri khasnya sebagai lembaga pendidikan jenius lokal di Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri bahwa UU Pesantren memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihan yang dimiliki mampu membawa pesantren ke arah yang lebih jelas dalam hal manajemen, pengelolaan, dan pengembangan. Sementara kekuranganya nampak seperti sebuah intervensi yang mencampuri rumah tangga pesantren terlalu dalam. Padahal pesantren adalah lembaga yang mandiri, sehingga perlu dipertimbangkan lagi supaya nantinya ada batasan dan kejelasan pada bagian mana pemerintah bisa melakukan intervensi. Perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat pesantren tidak boleh pudar dan berakhir. Terlebih, tantangan pesantren makin kemari makin berat dengan mewabahnya pergeseran nilai dan moral, tingginya angka konsumerisme, dan ketergantungan masyarakat terhadap produk teknologi modern. Pesantren yang menjadi saksi utama bagi penyebaran Islam di Indonesia harus terus berdiri kokoh dari masa ke masa, dan mampu menancapkan pengaruh yang melekat di masyarakat. Thus, pesantren perlu dibantu, dibela, dan diperjuangkan.

About The Author