Oleh: Reystifanny Azzahra (Mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa Arab IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Dunia pendidikan memang tidak bisa lepas dari sebuah ujian. Tidak hanya di madrasah dan sekolah, di pesantren pun ada ujian. Ujian adalah bagian yang penting yang tidak bisa diabaikan. Di pesantren, ujian merupakan cara untuk mengukur kemampuan santri. Ujian juga dijadikan sebagai alat evaluasi untuk menilai berapa jauh pengetahuan sudah dikuasai dan ketrampilan yang sudah diperoleh oleh santri. Selain untuk evaluasi seberapa jauh materi yang dapat di pahami oleh santri, ujian juga merupakan bagian dari mendidik karakter para santri untuk bersikap jujur, bertanggung jawab, dan percaya diri. Keberadaan ujian bukan hanya sekedar formalitas karena selain untuk potensi akademik,ujian juga bagian dari kualitas moral.
Selama ini pesantren diakui telah membentuk santri-santri dengan kebiasaan yang baik, seperti shalat berjamaah, berpuasa, berdzikir, mijahadah, tirakat, mengaji, ta’dzim dengan guru dan sebagainya. Namun hal tersebut belum cukup untuk menghadap tantangan akhir zaman. Santri juga harus belajar, mengerti, memahami berbagai macam sebagai bekal untuk di masyarakat nantinya. Ujian inilah yang menjadi sarana bagi para santri agar lebih bersungguh-sungguh dalam memperdalam ilmu yang mereka pelajari.
Ujian untuk Belajar
Ada adagium yang populer di pesantren bahwa belajar bukan untuk ujian akan tetapi ujian untuk belajar. Seringkali kiai dan guru mengingatkan santri dengan kalimat tersebut. Hal ini menegaskan bahwa belajar tidak hanya pada saat menghadapi ujian. Namun, ujian adalah alat evaluasi dan alat untuk mencari pola dan gaya belajar yang optimal bagi individu setiap santri. Salah satu problematika yang ada di dalam dunia pendidikan adalah anggapan bahwa belajar itu hanya untuk menghadapi ujian saja. Belajar hanya ditujukan untuk mampu menjawab soal-soal mata pelajaran saat ujian. Jika demikian, belajar tidak menjadi sebuah kebiasaan (habbit) dan peserta didik tidak mencapai batas optimalnya dalam belajar.
Adagium di atas juga mengandung makna untuk tidak takut menghadapi segala macam ujian dan tidak takut diuji. Karena dengan ujian seseorang dapat mengetahuai dan mengevaluasi dirinya untuk terus berkembang dan belajar. Dengan ujian, santri dibiasakan untuk bersiap diri, berusaha, tekun, ikhlas, jujur, dan tawakal dalam belajar. Apalagi nilai hasil ujian hanya tertulis di atas kertas. Sementara jiwa dan mental yang terasah dengan beragam ujian menjadi bekal penting dalam hidup bermasyarakat.
Mulia dan Hina
Bil imtihan yukram al-mar’u wa yuhan. Dengan ujian seseorang itu dapat menjadi mulia dan menjadi hina merupakan pepatah Arab yang juga tidak kalah penting. Bukan karena ujian itu untuk belajar kemudian seorang santri bermalas-malasan dalam menghadapi ujian. Atau, ia tidak melakukan persiapan matang dan optimal dalam menghadapi ujian. Tidak demikian. Bahkan dengan ujian santri makin meningkatkan belajarnya karena ujian menjadi tolok ukur keberhasilan santri dalam belajar baik yang bersifat kognitif, afektif maupun psikomotor. Sehingga, wawasan dan pengetahuan santri makin luas, kesadaran diri (self-awareness) santri makin meningkat, dan santri makin terampil.
Proses penilaian di pesantren cukup rigid. Biasanya guru menilai santri mulai dari ulangan atau muraja’ah, ujian tengah semester, ujian akhir semester, penugasan, penilaian afektif, penilaian praktik, dan suluk atau kepribadian santri. Keberhasilan santri dalam belajar tidak hanya diukur dalam saat waktu ujian. Namun, keseharian santri dalam lingkungan pesantren merupakan ujian baginya. Wajar jika ada saja santri yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan pesantren karena hal-hal di luar ujian dalam arti menjawab soal-soal ujian secara lisan dan tulis. Seperti tidak kerasan di pesantren, kurang pandai bergaul sesama santri, kurang disiplin, terlalu banyak mata pelajaran, kegiatan santri yang padat, sakit, terlalu ingat rumah, kendala finansial orangtua, disorientasi, dan sebagainya.
Manfaat Ujian
Sedikitnya ada tujuh manfaat ujian bagi santri, antara lain: Menghargai pentingnya waktu, memahami arti pentingnya belajar, melatih kejujuran, menghargai hasil usaha sendiri, mendorong semangat juang, untuk memotivasi diri, dan dapat mendekatkan diri pada Allah. Santri yang akan melaksanakan ujian harus mengetahui waktu kapan jadwal ujian akan dilaksanakan dan datang tepat waktu. Santri memahami arti pentingnya belajar. Sebab, adakalanya santri tidak mampu menjawab soal-soal ujian karena lupa atau kurang belajar. Santri dalam ujian harus mengerjakan sendiri, tidak boleh mencontek, dan diawasi oleh pengawas ujian. Artinya, santri dilatih untuk jujur dan peracaya diri sendiri. Yang tidak kalah penting, santri dituntut memiliki semangat juang yang gigih untuk hasil belajar maksima. Santri harus memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar. Dan, dengan ujian, santri makin menyadari bahwa ia adalah makhluk yang memiliki kelemahan dan tidak punya daya dan upaya. Hanya Allah ta’ala yang Maha Mengetahui (‘alim) dan pemberi ilmu pengetahuan. Sehingga selain upaya-upaya manusiawi seperti membaca, memahami dan menghapal pelajaran, santri juga melakukan pendekatan kepada Allah azza wajalla agar senantiasa diberikan kekuatan dan taufik-Nya dalam ujian.