Oleh: Yunita Rahayu (Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Kata pesantren kerap sekali terdengar di telinga kita. ya benar pesantren ialah wadah santri menuntut ilmu berbasis keislaman. Secara umum pesantren atau pondok bisa didefinisikan sebagai lembaga pendidikan agama Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.
Pendidikan Pesantren merupakan sistem pendidikan yang menjadi alternatif saat ini. Pesantren memadukan dua hal sekaligus, yaitu pendidikan karakter dan ilmu pengetahuan umum secara proporsional. Di mana pendidikan karakter kerap kali tidak bisa didapat secara optimal di sekolah pada umumnya. Terlebih, era globalisasi yang kian memuncak terjadinya demoralisasi. Merosotnya moral atau akhlak tercermin pada perilaku seseorang di mana perilaku tersebut bertentangan dengan norma dan nilai di dalam masyarakat. Tidak jarang problem ini menghantui para orangtua, sehingga pendidikan karakter menjadi kebutuhan yang mendesak bagi setiap anak.
Epistemologi Kurikulum Pesantren
Kurikulum pesantren banyak mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Keduanya merupakan sumber hukum dan pandangan hidup (worldview) primer bagi setiap muslim. Berlandaskan keduanyalah karakter santri dibina dan diperkokoh agar menjadi pribadi yang tangguh. Namun, pesantren tidak hanya semata-mata diajarkan al-Qur’an dan hadits. Ilmu-ilmu Islam seperti matematika, biologi, kimia, fisika, dan ilmu humaniora juga diajarkan sebagaimana di lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya. Sebab, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu. Fakta sejarah membuktikan, banyak ilmuan-ilmuan muslim klasik peletak dasar ilmu-ilmu sains dan masih relevan di era modern ini.
Stigma bahwa santri di pesantren terkekang, kaku, tidak bebas, banyak aturan, dan kuno adalah keliru. Banyak yang tidak menyadari juga bahwa kebebasan yang berlebihan bisa menghancurkan masa depan seseorang dan bangsa. Fenomena merebaknya remaja terjerumus pergaulan bebas dikarenakan abai terhadap penanaman nilai-nilai Islam melalui pendidikan. Hal ini menimbulkan keprihatinan yang amat dalam, sehingga mereka minim tentang ilmu keislaman yang semestinya menjadi dasar dan pedoman, dalam berpikir dan bertindak.
Urgensi Pendidikan Pesantren
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti suatu proses, cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Dalam pengertian yang sederhana dan umum makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. al-Qur’an berkali-kali menjelaskan pentingnya pengetahuan. Tanpa pengetahuan, niscaya kehidupan manusia akan menjadi sengsara. Al-Qur’an memperingatkan manusia agar mencari ilmu pengetahuan sebagaimana ditekankan QS at-Taubah: 122.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. Pendek kata, sebatas mempelajari tentang ilmu-ilmu umum tidaklah cukup. Manusia harus mempunyai pandangan hidup (worldview) dan framework dalam mengarungi kehidupan ini. Nilai-nilai moral yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist sebuah kemestian dan kebutuhan. Al-Qur’an dan hadist ibarat kompas kehidupan yang dapat membantu menghantarkan seseorang pada tujuan hidup yang semestinya. Bukan pada kebingungan (confusion) dan kehancuran. Sebagaimana kesimpulan Seyyed Hossein Nasr bahwa manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang dinyalakannya, sebab ia telah lupa siapa ia sesungguhnya.