Oleh: Pradi Khusufi Syamsu (Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon)
Sejak beberapa dekade terakhir topik mengenai gender dan kesetaraan gender menjadi wacana yang ramai diperbincangkan oleh masyarakat. Kesetaraan gender sendiri pertama kali digaungkan oleh para aktivis feminisme di Barat, khususnya Eropa sejak abad ke-18 dan mencapai puncaknya sejak abad ke-20 atau tahun 1960-an. Hal ini dilatarbelakangi oleh konsep keagamaan dari masyarakat Barat yang mengalami masalah dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang hina dan tidak bisa dipercaya.
Oleh karenanya, kemudian muncul protes dari aktivis feminisme yang menuntut kesetaraan dan keadilan perempuan dengan laki-laki dalam segala hal. Sampai kemudian paham kesetaraan gender ala Barat ini pun berkembang dan merambah ke semua lini kehidupan. Namun, isu ketidakadilan gender ini sering diindikasikan dengan ajaran agama. Penafsiran-penafsiran yang dinilai bias terhadap perempuan mulai dari batasan aurat, hak waris, hijab, hingga hak-hak kehidupan bersosial lainnya. Paham keadilan gender menjadi penting karena adanya tuduhan bahwa Islam tidak menghormati hak-hak perempuan.
Definisi
Secara etimologis atau makna kebahasaan, gender dan seks memiliki makna yang sama yaitu jenis kelamin. Adapun secara terminologis, dalam perspektif feminisme istilah gender dan seks memiliki makna yang berbeda. Seks merupakan jenis kelamin yang sudah melekat dan dibawa sejak lahir oleh semua manusia. Sementara gender merupakan sifat atau perspektif yang dibentuk oleh konstruksi sosial dan merupakan buatan manusia.
Henri Shalahuddin memilih untuk tidak memakai istilah kesetaraan gender dalam menggambarkan relasi antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu guna menggantikan istilah kesetaraan gender, ia menggunakan kata keserasian gender. Keserasian gender ini diartikan sebagai: Pembagian peran antara perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan tanpa meninggalkan kodrat dan identitas jenis kelaminnya, sesuai dengan budaya, agama, dan keyakinan masyarakat.
Adapun istilah kesetaraan gender (gender equality) merupakan konsep dikembangkan dengan mengacu pada dua instrumen internasional yang mendasar dalam hal ini yakni Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama.
Sementara itu, tidak ditemukan istilah yang tepat dengan term kesetaraan gender dalam kamus bahasa Arab. Namun kata “setara” dapat dipadankan dengan kata ‘adil (العدل) yang berarti keadilan atau tindakan yang adil, kesamaan. Namun, ada beberapa term yang digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan makna gender laki-laki dan perempuan seperti term żakar dan unṡā (QS. Al-Hujurat 49:13) dan term rijāl dan an-nisā’ (QS. An-Nisā’ 4:1) dengan beberapa derivasi kata lainnya.
Jawaban atas Tundingan Bias Gender
Islam tidak jarang mendapat tudingan diskriminasi terhadap perempuan, melebih-lebihkan laki-laki daripada perempuan, menempatkan wanita pada posisi marginal atau subordinat. Tudingan terkait al-Qur’an dan Hadist yang bias gender pun juga santer diperdengarkan khususnya pada kajian-kajian Ilmiah dan keagamaan. Kaum feminis mendakwa tentang perlunya rekonstruksi penafsiran ayat-ayat al-Qur’an agar dapat disesuaikan dengan keadaan sosio-ekonomi dan pemikiran masyarakat saat ini. Begitu pula kritik mereka terhadap Hadist-hadist Rasulullah Saw, diantaranya perawi Hadist dari kalangan Sahabat merupakan laki-laki yang belum tentu terbebas dari pengaruh amalan pratiarki.
Islam yang sangat menghargai konsep keadilan tentunya sangat jauh dari persoalan bias gender. Bahkan, perempuan dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat mulia dan terhormat. Islam juga tidak membedakan antara pahala seorang laki-laki dan perempuan. Fakta akan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan sebuah penindasan di antara keduanya melainkan menjadi kepaduan yang harmonis terutama dalam sebuah keluarga.
Konsep gender sebagai perbedaan dan pembedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan bukan hanya berlandaskan konteks sosial saja, melainkan juga tetap harus sesuai dengan tuntunan syariat Islam (al-Qur’an dan Sunnah). Pembedaan hak dan kewajiban, ataupun peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan semata-mata dikarenakan adanya pengistimewaan kepada salah satu jenis kelamin tertentu. Akan tetapi didasari dengan pemahaman bahwa Allah sudah secara adil menetapkan pembagian peran dan tanggung jawab di antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender yang dinginkan oleh kaum feminis untuk mengangkat derajat perempuan agar memiliki kesetaraan dan kesamaan di ruang publik, bahkan secara ekstrem menuntut reinterpretasi atas ayat-ayat gender yang pada dasarnya bertentangan dengan norma agama dinilai bertentangan dengan tujuan sebenarnya. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan menjadi sebuah problem, namun justru sebagai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh keduanya.