November 17, 2025
Kritik terhadap Bias dan Metodologi Kajian Hadis Orientalis

Oleh: Pradi Khusufi Syamsu [Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon]

Hadis, dalam khazanah keilmuan Islam, menempati posisi yang sangat penting sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Melalui hadis, umat Islam memahami penjelasan, rincian, dan konteks pelaksanaan ajaran Al-Qur’an. Namun, posisi istimewa ini justru menjadikan hadis sebagai sasaran kritik tajam para sarjana Barat—atau yang dikenal sebagai orientalis—yang sejak lama mempelajari Islam dari sudut pandang luar tradisi keilmuan Islam sendiri.

Semenjak terbitnya karya monumental Ignaz Goldziher berjudul Muhammadanische Studien pada tahun 1890 dan disusul oleh karya Joseph Schacht The Origins of Muhammadan Jurisprudence pada 1950, muncul gelombang besar kajian orientalis yang meragukan keotentikan hadis Nabi. Mereka berpendapat bahwa hadis bukan berasal dari masa Rasulullah, melainkan hasil rekayasa sosial dan politik umat Islam generasi berikutnya. Pendapat ini dengan cepat menyebar dan memengaruhi cara pandang banyak peneliti Barat terhadap Islam.

Bagi umat Islam, tudingan semacam itu sebuah penistaan dan tindakan koruptif terhadap ilmu. Hadis bukan hanya catatan sejarah, melainkan bagian dari wahyu dan sumber nilai-nilai kehidupan. Maka, muncul berbagai respon dari sarjana Muslim untuk meluruskan pandangan yang dianggap menyesatkan ini. Salah satu tokoh penting dalam upaya tersebut adalah MuhammadMuṣṭafā al-Aʿẓamī, seorang pakar hadis asal India yang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar dan Universitas Cambridge. Melalui karyanya Studies in Early Hadith Literature, Aʿẓami menyajikan pembelaan intelektual yang sistematis terhadap otentisitas hadis serta membongkar kelemahan metodologis dalam kajian orientalis. Aʿẓami menegaskan keotentikan hadis terjaga sejak masa periwayatan, penulisan, pembukuan ke dalam kitab-kitab kanonik. 

Bias dan Kelemahan Kajian Hadis Orientalis

Kritik Aʿẓami terhadap orientalis berangkat dari kesadaran bahwa orientalisme tidak lahir di ruang hampa. Gerakan ini tumbuh dalam konteks sejarah kolonial dan politik di mana Islam sering diposisikan sebagai  sebuah entitas asing yang harus dipahami, dikritik, bahkan dikendalikan. Dalam kerangka inilah, banyak karya orientalis mengandung bias ideologis yang mempengaruhi cara mereka membaca teks-teks Islam, termasuk hadis.

Menurut Aʿẓami, kesalahan mendasar para orientalis terletak pada cara mereka memperlakukan hadis sebagai teks sejarah semata tanpa memahami struktur epistemologinya. Banyak di antara mereka yang salah memilih objek kajian, seperti meneliti hadis melalui kitab fikih yang bukan sumber utama periwayatan, atau menggunakan data yang tidak valid karena bersumber dari naskah yang tidak autentik. Kesalahan juga terjadi pada tingkat bahasa, ketika istilah-istilah Arab yang memiliki konteks historis dan budaya tertentu dimaknai secara literal atau ahistoris.

Selain itu, Aʿẓami menemukan bahwa para orientalis kerap menggunakan metodologi klasik Islam, seperti penelusuran sanad atau iʿtibār, namun dengan cara yang tidak sesuai dengan prinsip aslinya. Mereka seringkali membuat klaim individu tanpa dasar empiris, menafsirkan data dengan logika yang bias, dan bahkan melakukan distorsi terhadap kronologi sejarah untuk mendukung kesimpulan yang telah mereka tentukan sejak awal. Semua ini menunjukkan bahwa penelitian mereka lebih banyak didorong oleh asumsi ideologis ketimbang komitmen ilmiah terhadap kebenaran.

Kritik Aʿẓami

Sebagai respons terhadap gelombang orientalisme tersebut, Aʿẓami mengembangkan pendekatan yang ia sebut sebagai pembacaan kritis. Ia tidak menolak mentah-mentah pandangan orientalis, tetapi mengkajinya secara sistematis dengan membandingkan argumen mereka terhadap sumber-sumber primer Islam. Pendekatan ini bersifat konstruktif karena tidak hanya membantah, melainkan juga memperlihatkan bagaimana tradisi keilmuan Islam sebenarnya memiliki perangkat metodologis yang sangat canggih.

Dalam melakukan kritiknya, Aʿẓami memadukan berbagai perangkat ilmiah. Ia menggunakan argumentasi logis untuk membongkar kontradiksi dalam penalaran para orientalis. Ia juga menelusuri data filologis dari naskah-naskah klasik untuk menunjukkan kesalahan salinan atau penyimpangan teks yang dilakukan oleh para peneliti Barat. Pendekatan intertekstual ia gunakan untuk menghubungkan hadis dengan Al-Qur’an dan literatur Islam lainnya, sehingga makna hadis dapat dilihat secara utuh dan kontekstual.

Selain itu, Aʿẓami menekankan pentingnya pemahaman sejarah yang benar dalam menafsirkan teks. Ia membuktikan bahwa banyak klaim orientalis, seperti tuduhan bahwa hadis tertentu diciptakan karena kepentingan politik Dinasti Umayyah, tidak sesuai dengan fakta sejarah. Ia bahkan menunjukkan bahwa metode klasik dalam ilmu hadis seperti jarh wa taʿdil, iʿtibār, dan idrāj memiliki keakuratan ilmiah yang lebih tinggi daripada metode analisis sejarah yang digunakan para orientalis.

Sikap Objektif

Kritik Aʿẓami menyoroti perbedaan mendasar antara cara berpikir ilmuwan Barat dan sarjana Muslim. Para orientalis mengklaim objektivitas dengan menyingkirkan unsur keimanan, sedangkan bagi Aʿẓami, objektivitas justru dicapai ketika teks dipahami sesuai dengan konteks epistemologinya. Dalam ilmu Islam, keimanan bukan penghalang ilmu, tetapi kerangka yang menjaga agar pengetahuan tidak terlepas dari nilai-nilai kebenaran dan moralitas.

Dari sudut pandang ini, pendekatan Aʿẓami mengajarkan bahwa memahami Islam, terutama hadis, tidak cukup dengan kacamata sejarah atau filologi semata. Diperlukan pemahaman yang komprehensif atas tradisi keilmuan Islam itu sendiri, yakni tradisi yang menyeimbangkan antara rasionalitas dan spiritualitas, antara fakta dan makna, antara teks dan konteks.

Penutup

Perdebatan antara orientalis dan sarjana Muslim tentang hadis seharusnya tidak dimaknai sebagai konfrontasi ideologis semata, melainkan sebagai ruang dialog epistemologis. Kritik Aʿẓami terhadap orientalisme menunjukkan bahwa Islam memiliki sistem ilmiah yang kokoh dan dapat berdiri sejajar dengan tradisi akademik Barat. Namun, dialog itu baru akan bermakna jika dilakukan dengan kesetaraan, bukan dalam kerangka dominasi atau superioritas budaya.

Melalui karya-karyanya, Aʿẓami tidak hanya membela otentisitas hadis, tetapi juga menegaskan kembali martabat intelektual Islam di hadapan dunia modern. Di tengah arus globalisasi pengetahuan yang sering kali bias, upaya seperti ini menjadi pengingat penting bahwa ilmu bukan hanya soal metode, tetapi juga soal kejujuran intelektual dan penghormatan terhadap warisan peradaban.

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *