Oleh: Pradi Khusufi Syamsu [Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon]
Teori behaviorisme merupakan salah satu teori yang paling berpengaruh dalam pendidikan. Teori ini menekankan pada perilaku yang dapat diamati secara langsung, bukan pada pikiran atau emosi yang bersifat subjektif. Teori yang muncul pada akhir abad ke-19 ini menjadi bentuk perlawanan terhadap pendekatan introspektif dalam psikologi, yang dianggap terlalu abstrak dan tidak dapat diukur secara ilmiah.
Melacak Teori Behaviorisme
Sejarah behaviorisme tidak bisa dilepaskan dari eksperimen klasik Ivan Pavlov dengan anjingnya. Pavlov menunjukkan bahwa perilaku dapat dibentuk melalui pengondisian sederhana: ketika seekor anjing diberi makanan setiap kali bel dibunyikan, ia akhirnya akan mengeluarkan air liur hanya dengan mendengar bunyi bel. Dari sinilah lahir konsep classical conditioning — gagasan bahwa manusia juga belajar dengan cara mengaitkan pengalaman satu dengan yang lain.
Sementara itu, Edward Thorndike memperkenalkan Law of Effect, yang menyatakan bahwa perilaku yang diikuti oleh hasil menyenangkan cenderung diulang, sedangkan perilaku yang diikuti oleh hasil tidak menyenangkan akan dihindari. Ia melakukan eksperimen dengan kucing yang berusaha keluar dari kandang, menunjukkan bagaimana hewan belajar dari konsekuensi tindakan mereka.
John B. Watson, yang sering disebut sebagai “Bapak Behaviorisme Modern”, membawa teori ini ke ranah psikologi eksperimental. Ia menolak studi tentang pikiran atau kesadaran dan menekankan bahwa psikologi harus fokus pada perilaku yang dapat diamati secara objektif. Bagi Watson, manusia tidak jauh berbeda dengan hewan dalam hal respons terhadap rangsangan lingkungan.
Kemudian datang B.F. Skinner, tokoh paling berpengaruh dalam pengembangan operant conditioning. Ia berpendapat bahwa perilaku manusia dibentuk oleh konsekuensi — baik berupa penguatan (reinforcement) maupun hukuman (punishment). Dengan kata lain, perilaku yang diberi penghargaan akan diperkuat, sedangkan perilaku yang mendapat hukuman akan berkurang atau hilang. Gagasannya masih banyak digunakan dalam dunia pendidikan hingga saat ini.
Behaviorisme dalam Pembelajaran
teori behaviorisme memiliki dampak yang besar terhadap cara guru mengajar dan siswa belajar. Pendekatan ini menempatkan guru sebagai pengontrol lingkungan belajar, sementara siswa berperan sebagai penerima rangsangan yang diharapkan memberikan respons tertentu. Misalnya, ketika siswa diberi pujian atau nilai baik setiap kali berhasil menyelesaikan tugas, hal tersebut merupakan bentuk penguatan positif yang mendorong perilaku belajar yang baik. Sebaliknya, jika siswa mendapatkan teguran atau kehilangan poin karena tidak disiplin, itu adalah bentuk penguatan negatif atau hukuman untuk mencegah perilaku yang tidak diinginkan.
Prinsip dasar behaviorisme juga mendorong pentingnya pengulangan dan latihan dalam proses belajar. Dalam praktiknya, metode ini sering diterapkan dalam pembelajaran membaca, berhitung, atau menghafal, di mana latihan berulang memperkuat daya ingat dan ketepatan siswa.
Meski berpengaruh luas, teori behaviorisme tidak luput dari kritik. Banyak ahli pendidikan modern menilai bahwa teori ini terlalu mekanistik dan mengabaikan aspek internal seperti motivasi, emosi, serta pemikiran kreatif. Dalam pandangan behaviorisme, siswa sering kali diposisikan sebagai individu pasif yang hanya merespons stimulus dari luar tanpa kesempatan untuk berpikir mandiri.
Pendekatan ini juga dinilai kurang memperhatikan aspek hubungan emosional antara guru dan murid. Dalam praktiknya, seorang guru yang terlalu fokus pada hukuman dan penghargaan bisa kehilangan sentuhan kemanusiaan dalam mengajar. Dari sudut pandang humanistik, hubungan belajar seharusnya bersifat dua arah, menumbuhkan rasa percaya diri, empati, dan kemandirian peserta didik.
Oleh karena itu, banyak ahli kini menyarankan agar teori behaviorisme tidak digunakan secara tunggal. Sebaliknya, pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan teori kognitivisme dan konstruktivisme agar proses pembelajaran tidak hanya membentuk perilaku, tetapi juga mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman yang mendalam.
Kritik dari Perspektif Pendidikan Islam
Teori behaviorisme adalah salah satu tonggak penting dalam sejarah psikologi modern. Aliran ini berusaha menjadikan studi tentang perilaku manusia sebagai ilmu yang eksak dan terukur. Namun, di balik kontribusinya terhadap dunia pendidikan dan psikologi, muncul kritik mendasar, terutama dari perspektif pendidikan Islam yang memandang manusia secara lebih utuh — bukan sekadar makhluk yang bereaksi terhadap rangsangan eksternal.
Menurut teori ini, belajar adalah perubahan perilaku akibat pengalaman. Pikiran dan kesadaran tidak dianggap penting karena tidak dapat diamati secara langsung. Dengan kata lain, manusia dipandang hampir sama dengan hewan dalam hal proses belajar, keduanya bereaksi terhadap stimulus eksternal yang sama. Namun, bagi pandangan pendidikan Islam, cara pandang seperti ini dianggap reduksionistik, terlalu menyederhanakan hakikat manusia yang sebenarnya memiliki dimensi spiritual, emosional, dan intelektual.
Islam memandang manusia sebagai makhluk yang mulia, memiliki akal (‘aql), hati (qalb), dan jiwa (ruh) yang membedakannya dari makhluk lain. Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam… (QS. Al-Isra: 70). Oleh karena itu, pendekatan behavioristik yang menitikberatkan pada stimulus eksternal dianggap mengabaikan potensi batiniah manusia. Islam memandang bahwa motivasi belajar tidak hanya datang dari luar (seperti hadiah atau hukuman), tetapi juga dari dalam diri, yaitu iman, niat, dan kesadaran spiritual.
Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks ini, iman dan takwa berperan sebagai motivasi internal yang jauh lebih kuat dan bertahan lama dibandingkan sekadar penguatan eksternal.
Pendidikan Islam menempatkan proses belajar sebagai ibadah dan bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Tujuannya bukan hanya perubahan perilaku, tetapi juga peningkatan kualitas spiritual dan moral. Manusia diciptakan sebagai makhluk pembelajar. Al-Qur’an menggambarkan peristiwa pengajaran Allah kepada Nabi Adam sebagai bukti bahwa belajar merupakan fitrah manusia.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya…” (QS. Al-Baqarah: 31)
Dari ayat ini, tampak bahwa Islam menempatkan kegiatan belajar sebagai sarana mengembangkan potensi ilahi yang telah ada dalam diri manusia, bukan sekadar respon mekanis terhadap stimulus. Artinya, pendidikan Islam menawarkan pendekatan yang lebih utuh, menggabungkan dimensi intelektual, emosional, dan spiritual.
Perbandingan Dua Paradigma
| Aspek | Behaviorisme | Pendidikan Islam |
| Hakikat Manusia | Sama dengan hewan, bereaksi terhadap stimulus | Makhluk berakal, berjiwa, dan memiliki tujuan spiritual |
| Motivasi Belajar | Dari luar (reward & punishment) | Dari dalam diri (iman, niat, dan pencarian ilmu) |
| Tujuan Pembelajaran | Perubahan perilaku | Pembentukan insan kamil (manusia paripurna) |
| Peran Guru | Pemberi stimulus | Pembimbing spiritual dan moral |
Penutup
Teori behaviorisme telah memberikan kontribusi besar bagi dunia pendidikan. Melalui konsep stimulus-respons, penguatan, dan pembiasaan, teori ini membantu guru membentuk perilaku disiplin, tanggung jawab, serta keterampilan akademik dasar pada siswa. Namun, pendidikan modern menuntut lebih dari sekadar perubahan perilaku yang tampak di permukaan. Belajar sejatinya bukan hanya soal bagaimana seseorang bertindak, tetapi juga bagaimana ia memahami, memaknai, dan menginternalisasi pengetahuan. Karena itu, pendekatan behaviorisme akan lebih bermakna jika dipadukan dengan metode yang mendorong refleksi, pemahaman, dan kesadaran diri siswa.
Kritik terhadap behaviorisme bukan berarti menolak seluruh gagasannya. Teori ini tetap bermanfaat dalam konteks pembentukan kebiasaan dan pengelolaan perilaku, terutama dalam pendidikan dasar. Namun, perlu disadari bahwa manusia bukan mesin yang hanya bereaksi terhadap rangsangan. Oleh karena itu, pendidikan yang ideal harus mampu menyentuh hati dan akal sekaligus, menumbuhkan kesadaran spiritual dan tanggung jawab moral. Thus, belajar tidak hanya menjadi proses memperoleh pengetahuan, tetapi juga jalan menuju kesempurnaan diri dan kedekatan kepada Sang Maha Pencipta.