Masyarakat Adat Kasepuhan Gelar Alam di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, kembali menggelar upacara adat Serentaun ke-658 pada 2–5 Oktober 2025. Tradisi tahunan yang telah berlangsung sejak tahun 1368 ini menjadi simbol rasa syukur atas hasil panen padi serta bentuk penghormatan terhadap alam dan leluhur.
Ribuan warga dan wisatawan hadir memadati kawasan adat yang berada di perbatasan Sukabumi–Banten tersebut. Perayaan dimulai dengan prosesi adat penyimpanan padi ke dalam leuit (lumbung padi), diiringi berbagai kesenian tradisional khas Sunda seperti wayang golek, calung, dog-dog lojor, seni jipeng, dan debus.
“Serentaun bukan sekadar upacara adat, tetapi wujud rasa syukur dan pengingat agar manusia senantiasa menjaga keseimbangan dengan alam,” ujar Abah Ugie, Kepala Adat Kasepuhan Gelar Alam, dalam sambutannya di sela acara puncak.
Filosofi Padi dan Leuit
Bagi masyarakat Kasepuhan Gelar Alam, padi bukan hanya sumber pangan, melainkan simbol kehidupan. Sebagian hasil panen disimpan di leuit untuk menjaga ketahanan pangan jangka panjang. Tradisi ini membuat stok padi di kampung adat tersebut selalu surplus, bahkan sebagian padi yang tersimpan diketahui telah berusia puluhan hingga ratusan tahun.
Dalam kepercayaan adat, menjual beras dianggap sama dengan menjual kehidupan. Karena itu, hasil panen tidak diperjualbelikan, melainkan dikelola bersama sebagai bentuk penghormatan terhadap rezeki yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.
Modernisasi yang Bijak
Meski memegang teguh nilai-nilai leluhur, masyarakat adat Kasepuhan Gelar Alam tetap terbuka terhadap perkembangan zaman. Di tengah suasana tradisional, kini telah tersedia akses jaringan internet untuk mempermudah komunikasi, penelitian, dan promosi wisata budaya tanpa mengubah tatanan adat.
“Teknologi kami gunakan untuk memperkenalkan nilai-nilai adat ke dunia luar. Namun adat tetap kami jaga sebagaimana pesan leluhur,” ujar Mamah Dedeh, istri Abah Ugie, yang turut menyambut para tamu undangan.
Dihadiri Berbagai Komunitas dan Tokoh
Tahun ini, perayaan Serentaun turut dihadiri berbagai komunitas budaya, akademisi, dan organisasi seperti Fananie Center, Queena Travel, dan odya Pala Indonesia Art Center. Beberapa di antaranya Dr. Muhammad Ismail (Mbah Mail), Ustadz Tavip Ahmad Budiman (Yai Tavip) Habib RDM (Habib Dhonus) Habib Yan (Tim Medis Tibbunabawi) Kak Kusna Sanjaya (Pelukis Nu Agung) dan Mayor Teddy (Kang Dekan). Rombongan yang dipimpin oleh Habib Dhonus dari komunitas Pajero Sport Adventure Indonesia juga ikut serta dalam perjalanan budaya menuju Gelar Alam. Mereka bergabung dengan komunitas lain seperti Indonesia Overland, Ves Community, dan Fortuner Community dalam konvoi melewati jalur Gunung Halimun.

Warisan Budaya dan Daya Tarik Wisata
Serentaun kini tidak hanya menjadi agenda adat, tetapi juga daya tarik wisata budaya yang menarik perhatian peneliti dan wisatawan dari berbagai daerah maupun luar negeri. Setiap tahunnya, perayaan ini menjadi ruang pertemuan antara tradisi, spiritualitas, dan kebersamaan.
“Tradisi ini mengajarkan kita untuk selalu menghormati alam dan menjaga warisan leluhur untuk anak cucu,” kata Dr. Muhammad Ismail, salah satu tamu yang hadir dalam acara tersebut.
Dengan semangat pelestarian budaya dan kearifan lokal, Kasepuhan Gelar Alam membuktikan bahwa tradisi leluhur dapat hidup berdampingan dengan kemajuan zaman tanpa kehilangan maknanya. [Teddy Khumaedi]